Hydrangeas

I kiss my day with a fiction

Curious

Leave a comment

“Kadang-kadang orang jenius memang sulit untuk dibuat senang.”

Ilana Tan

Bahasa.

Ah, tidak.

Fotografi.

Ya. Kurasa itulah membuatku tergelincir dalam keindahan karakternya.

14 Februari. Masih ku ingat dengan jelas sosok pendek berwajah childish dengan ekspresi tak bersahabat. Cuaca begitu dingin dan tubuhnya seakan tenggelam dalam balutan coat putih yang dipakainya.

“Wow, tepat waktu sekali, ya? Padahal aku baru saja datang~”

Dia tersenyum manis, lengkap dengan dua lengkungan bulan sabit di matanya. Manis dan sarkastik dalam satu waktu.

Dan sejak hari itu, ada magnet tak kasat mata yang membuatku tertarik untuk selalu berada di dekatnya. Semakin hari semakin menjadi rasanya. Hingga sulit bagiku memejamkan mata barang sedetik di malam hari. Berharap pagi cepat menyapa, jadi aku dapat bertemu dengannya sekali lagi.

Satu bulan.

Kami menggelar world tour pertama dan sudah kudengar sebelumnya bahwa Doogi hyung akan menyewa beberapa interpreter ahli untuk kami.

Dan dia sendirian.

Oh, ayolah. Dia begitu mungil dan, kukira, tidak akan ada orang yang bisa mengidentifikasi kemampuannya dalam waktu singkat. Contohnya, diriku sendiri.

Dia? Wah yang benar saja… ah, mungkin dia yang bertugas menyambut kedatangan kami di bandara….

Sial.

Besoknya gadis itu datang lagi. Dengan wajah kusut, rambut kuncir yang tak jelas berbentuk apa dan yang paling mengejutkan adalah, dia berpakaian kasual padahal, kukira, ia pasti tahu akan bertemu dengan manajer kami. Benar-benar.

Oh, pasti cordy nuna yang baru….

Sial. Lagi.

Gadis itu berdiri di panggung yang sama dengan kami. Berdiri tegak, tak tersenyum sama sekali. Memegang mikrofon yang sama.

Aku mendengar suaranya.

Benar-benar. Sudah tergila-gila rasanya diriku ini. Jun hyung sampai harus terbangun karena ulahku, tertawa sendirian.

Aih, percayalah. Bahkan membayangkan suaranya pun aku tak berani lagi. Begitu berkharisma dan penuh pesona. Tegas dan lembut melebur dalam setiap kata yang diucapkannya. Dan satu lagi, TIDAKKAH DIA MEMILIKI OTAK UNTUK BERPIKIR? Bagaimana mungkin dia mampu mengalih bahasa-kan semua kata-kata kami dengan begitu cepat? Tanpa berpikir sekali pun.

Selama menjadi staff sementara, yang kutahu dia tinggal di hotel yang sama dengan kami. Hoshi hyung yang mengatakannya.

Aku iri.

Hoshi hyung dan Jihoon hyung selalu terlihat dekat dengannya. Dia tertawa bersama Hoshi hyung dan dia bernyanyi bersama Jihoon hyung. Lalu belakangan kulihat Wonwoo hyung juga mulai mendekatinya. Begitu bersinarnya dia.

Sedangkan aku?

Tidak ada hal lain selain basa-basi tak bermutu, senyum yang aneh, lidah yang kelu dan jantung yang berdegup tak karuan.

Dan dia?

Hanya ada tatapan sinis, kening yang mengerut, senyum heran dan jawaban ketus,

“Kenapa kau begitu banyak bertanya?”

Lalu pergi.

Tak jarang, kulihat dia keluar dari kamar pagi-pagi sekali dengan menenteng sebuah kamera dan tas punggung yang terlihat lusuh. Tak jarang juga kudapati ia kembali ke kamarnya saat hari sudah begitu larut. Masih dengan kamera dan beberapa surat kabar yang entah dia dapatkan darimana.

Suatu pagi, aku pernah mengikutinya—oh, bukankah sudah ku katakan kalau dia selalu membuatku bertanya-tanya?—Dan perjalananku berakhir pada sebuah taman. Aku tidak pernah tahu bahwa hanya beberapa meter dari tempat kami menginap ada taman seramai dan semenyenangkan ini. Bunga sakura sudah mulai bermekaran menyambut musim semi yang hanya dalam hitungan hari. Seorang anak kecil menarik perhatianku. Meminum susu formulanya dengan khidmat sambil menatapku.

Dan malapetaka itu datang. Ibunya mengajakku berbicara.

Aku menjerit dalam hati. Aku butuh seseorang. Sekarang.

Dan tanpa sempat kusadari, seseorang duduk di sebelahku. Detik berikutnya kudengar dia dan ibu itu mengobrol dengan semangat. Dasar wanita.

“Nekat sekali, ya….”

Aku menoleh. Menatapnya bingung.

“Kau kira aku tidak tahu?” Ia menghela napasnya pelan, “Mr Hansol Vernon Chwe, why are you following me around? Why don’t you just sleep and stay safe in your room?”

Panjang.

Itu tadi adalah kalimat terpanjang yang pernah dia ucapkan untukku. Terharu? Tentu saja tidak. Aku tidak separah itu—bukankah sudah ku katakan kalau aku hanya penasaran?

Sesuatu yang lain menarik perhatianku.

“… boleh kulihat kameramu?”

Dia memberikan kamera di tangannya tanpa ragu.

Sial.

Teknik fotografi macam apa ini?

Menakjubkan.

Bahkan dengan foto-foto anehnya di dalam kamar yang terselip di antara foto-foto yang lain, masih terlihat begitu menakjubkan.

Lalu jantungku berdegup lebih keras.

Fotonya berpose candid di dekat jendela.

… lebih keras lagi.

Fotonya dengan ekspresi sedih di samping tempat tidur.

… terlalu keras hingga aku sendiri tak mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku. Yang aku tahu hanya tatapannya yang terkejut, kening yang mengerut bingung, jarak yang sedikit menjauh, dan sebuah kalimat bernada sarkastik yang meluncur bebas dari mulutnya.

“Apa kau bilang?”

Aku diam. Kebodohan yang tak pernah terampuni.

Manusia tolol sepertiku tidak akan pernah bisa mendekat padanya lagi. Bodoh.

Delapan menit berlalu seperti neraka bagiku.

Dia begitu menyeramkan. Menatapku tak berkedip dan diam. Lalu dia bersuara,

“Kau… serius? Apa maksudmu?”

Maafkan aku—oh, dan aku serius.

Tapi lidahku kelu. Sialan.

“… aku harus pergi.”

Dalam perjalanan pulang, entah sudah berapa ratus kali kukutuk diriku sendiri. Kata-kata itu menghantuiku berhari-hari. Bahkan hingga aku dan yang lain harus kembali ke Korea.

“Aku menyukaimu. Be mine, Tian.”

Satu bulan berikutnya kutemukan surat tertulis atas namaku. Tak ada nama pengirim.

Sesaat setelah membaca surat itu, aku tertegun. Satu pertanyaan yang menggaung keras di kepalaku.

Boleh aku berlari ke tempatnya sekarang?

FIN

Author: MadMaiden

Might as well bite u

Leave a comment